Urf dan Adat dalam Timbangan Syariat
Pendahuluan
Menyoal tentang ‘urf atau tradisi adalah suatu hal yang tidak bisa lepas dari perkara syariat karena ‘urf termasuk pijakan dalam penetapan hukum islam. Di dalam ilmu ushul fiqih, ‘urf termasuk dalil-dalil isti’nasiyah. Yaitu, sebagai penyempurna dalil-dalil syar’i baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Makna dari isti’nas itu sendiri adalah dalil-dalil yang diambil oleh para ulama fikih dan ushul untuk mengantarkan kepada dalil-dalil syar’i dan juga untuk men-tarjih (memilih yang paling kuat) di antara beberapa pendapat yang berbeda.
‘Urf di antara dalil isti’nasiyah
Dalil-dalil isti’nasiyah itu sendiri terbagi menjadi enam. Salah satu di antaranya adalah ‘urf atau adat. ‘Urf sendiri menurut para ulama adalah suatu hal yang telah ada dan menetap pada kebiasaan masyarakat dan dapat diterima dengan akal yang waras. Adapun adat adalah suatu hal yang berjalan terus menerus di antara masyarakat menurut persepsi mereka sehingga masyarakat terus mengulangi hal itu di kemudian hari. Dari sini, dapat kita ketahui tidak ada bedanya antara ‘urf dan adat.
Di antara dalil adanya ‘urf adalah firman Allah Ta’ala,
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَـٰهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf (‘urf), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al ‘Araf: 199)
‘Urf secara perbuatan dan ucapan
‘Urf secara perbuatan seperti contohnya adalah praktik transaksi jual beli tanpa mengucapkan akad ijab kabul atau akad jual beli. Terkadang ada kalanya untuk transaksi hanya cukup dengan perbuatan seperti halnya ketika membeli garam dan gula. Pembeli mengambil barang yang diinginkan dan memberikan nominal sesuai harga barang. Penjual menyerahkan barang dan menerima sesuai nominal harga barang.
Adapun ‘urf secara ucapan adalah seperti kebiasaan masyarakat kita yang sering menggunakan kata “daging” sebagai alias dari daging sapi. Ketika ada seseorang yang mengucapkan, “Saya ingin membeli daging.” Maka, yang dipahami adalah daging sapi. Karena ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita.
‘Urf dilihat dari ruang lingkup terbagi menjadi dua jenis
‘Urf ‘am
Yaitu, suatu kebiasaan umum yang berlaku pada kebanyakan manusia di seluruh negara. Seperti contohnya transaksi jual beli rumah, maka sudah include seluruh apa saja yang ada di dalam rumah, baik pintu, keran, jendela, dan lain sebagainya. Begitu halnya transaksi jual beli mobil, tentu sudah termasuk dengan ban, perkakas, dan lain-lain. Atau contoh yang lebih dekat, ketika kita ingin menyewa atau menggunakan kamar mandi umum, tentu tidak ditakar berapa batas maksimal air yang harus digunakan dan berapa lama waktu penggunaannya.
‘Urf khash
Yaitu, suatu kebiasaan yang bersifat khusus. Seperti halnya penggunaan lafal salat. Pada asalnya, salat secara bahasa berarti doa. Namun, kebiasaan yang ada ketika disebutkan salat, maka maksudnya adalah setiap ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam. Yakni, ibadah salat. Hal ini dapat diterjemahkan dengan ucapan seseorang kepada anaknya, “Apakah engkau sudah salat?” Tentu ‘urf atau kebiasaan masyarakat kita akan menerjemahkan kalimat di atas dengan salat berupa ibadah yang ada padanya takbir, rukuk, iktidal, sujud, dan salam. Bukan diterjemahkan dengan arti doa.
Baca juga: Batasan Israf (Berlebih-lebihan) adalah ‘Urf
Syarat-syarat ‘urf untuk digunakan sebagai hujah
Urf bersifat universal atau menyeluruh
Yakni, kebiasaan tersebut banyak dilakukan oleh manusia. Bukan kebiasaan yang diperuntukkan hanya untuk golongan, ormas, maupun kelompok tertentu. Seperti contohnya kebiasaan dalam menikah. Di sebagian tempat, mahar diserahkan seluruhnya kepada calon suami. Di sebagian, mahar ditentukan oleh pihak wali dari calon istri. Di sebagian lagi, ada yang menjadikan tanggungan tersebut kepada calon kedua mempelai. Demikianlah ‘urf.
Hendaknya ‘urf tersebut banyak dilakukan oleh manusia
Sebagai penekanan untuk poin pertama, ‘urf hendaknya tidak hanya dilakukan oleh person tertentu saja. Namun, dilakukan oleh masyarakat luas, setidaknya telah menjadi kebiasaan sebagian besar populasi di negara ini. Sehingga, dari sini dapat difahami, bahwasanya ‘urf tidak boleh bertentangan dengan khalayak umum.
‘Urf tersebut harus masih berlaku
Artinya, ‘urf atau kebiasaan tersebut masih dianggap dan masih dilakukan di antara manusia. Karena ada sebagian ‘urf yang sudah kuno dan tidak terangkat dan tidak dilakukan lagi di antara masyarakat. Sehingga, di antara syaratnya, yaitu ‘urf tersebut harus masih berlaku di kalangan masyarakat saat ini. Di antara contoh ‘urf yang masih berlaku sampai pada saat ini adalah kebiasaan mudik di hari lebaran.
Urf bersifat suatu keharusan
Di antara syaratnya, kebiasaan tersebut menjadi suatu keharusan dan kewajiban dalam pandangan masyarakat untuk dilakukan. Seperti halnya seorang suami yang menikah, maka ia harus menyiapkan tempat tinggal untuk istrinya. Hal ini kiranya tidak harus tertulis pada syarat sebelum menikah. Namun, masyarakat kita memandang menjadi suatu keharusan seorang suami memberikan tempat tinggal yang layak untuk istrinya.
Adapun seorang istri, hendaknya ia membantu suaminya dalam menyiapkan tempat tinggal untuknya. Jika istri tidak bisa, maka bukan menjadi suatu permasalahan. Karena ini merupakan kewajiban seorang suami. Demikianlah kebiasaan yang ada pada masyarakat kita.
Urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i
Inilah di antara syarat yang sangat penting. Yaitu, ‘urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang ada baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Jika bertentangan, maka tidak bisa dilakukan. Di antara kebiasaan yang bertentangan adalah:
Menukar uang baru di hari raya dengan adanya tambahan
Tentu tambahan yang ada merupakan riba. Dan riba telah Allah dan Rasul-Nya larang. Allah berfirman,
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡڪُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَـٰفً۬ا مُّضَـٰعَفَةً۬ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran : 130)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat, serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim no.2970.)
Adapun uang yang sekarang itu sama halnya dengan emas di zaman dahulu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan emas sebagai alat tukar di zaman tersebut. Maka, tidak boleh untuk kita menukar uang baru dengan adanya tambahan. Jika ada tambahan, maka termasuk riba. Dan penukaran harus dalam bentuk tunai tidak boleh ada tenggang waktu ataupun utang dari salah satu pihak.
Bersalaman dan cipika-cipiki dengan yang bukan mahram
Ini masih sangat banyak terjadi di masyarakat kita. Kebiasaan ini seolah menjadi hal yang lumrah. Seorang bersalaman dengan wanita yang bukan mahram, bahkan wal’iyadzu billah sampai cipika-cipiki dengan wanita yang bukan mahram. Ketahuilah! Bahwa ditusuknya seseorang dengan besi yang panas, itu lebih baik daripada seseorang bersentuhan dengan yang bukan mahram!
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak besi, itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani)
Pada hadis di atas, disebutkan hanya sebatas menyentuh, lalu bagaimana jika sengaja bersalaman, cipika-cipiki, bahkan lebih dari itu? Tentu lebih diharamkan lagi.
Inilah di antara contoh-contoh dari sekian banyak contoh ‘urf ataupun kebiasaan yang bertentangan dengan syariat. Tentunya hal ini sudah semestinya kita hindari.
Ringkasnya, pada pembahasan kali ini, ‘urf merupakan di antara dalil-dalil penopang dalil-dalil syar’i. ‘Urf bisa diamalkan tentunya setelah terpenuhinya syarat-syarat di atas. Dipersilakan untuk mengamalkan kebiasaan yang ada di tengah masyarakat kita, tentunya dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah disebutkan.
Semoga bermanfaat
Wallahu ’alam
Baca juga: Tundukan Hawa Nafsu Demi Ikut Dalil
***
Depok, 28 Ramadan 1445 H / 8 April 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel asli: https://muslim.or.id/93086-urf-dan-adat-dalam-timbangan-syariat.html